by

Didong

Oleh Arsadi Laksamana

SALIMI adalah seorang ceh. Ini sebutan untuk vokalis Didong, seni lisan khas Gayo yang memadukan sastra, suara, dan tari.

Salimi tinggal di desa Kung di kecamatan Pegasing, sepuluh kilometer dari Takengon, ibukota Aceh Tengah. Dari daerah ini banyak lahir ceh terkenal. Salimi salah satunya. Ia bergabung dalam satu grup Didong, Kemara Bujang.

“Seorang ceh harus paham banyak hal. Wawasannya harus luas. Ia harus mengikuti perkembangan zaman. Ia juga harus tahu politik. Kalau tidak, syairnya tidak akan bagus,” katanya pada saya.

Kami berbicara di ruang tamu merangkap dapur di rumahnya yang sempit, sembari menghirup kopi Gayo. Rumah Salimi berada tepat di pinggir jalan Takengon-Gayo Lues.

“Beginilah nasib para ceh. Tidak punya uang, cuma punya syair,” katanya. Ia pernah merantau ke Riau dan membentuk sanggar seni di sana.

“Di mana ada sekumpulan orang Gayo hidup, maka pasti ada Didong,” ujarnya. Garis-garis lelah tampak di sekitar matanya, karena sering begadang. Pertunjukan Didong selalu diadakan semalam suntuk.

Selain di Aceh, seperti di Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara, suku Gayo juga tersebar di Serbejadi, Aceh Timur, Pulo Tige Aceh Tamiang. Di luar Aceh, mereka merantau di Jakarta dan Bandung, ataupun kota-kota lain.

Sejarah Didong punya banyak versi. Salah satunya bisa ditemukan dalam buku Mukthaman Bale, Syariat dan Adat Istiadat III. Seni ini berawal saat terjadi pergolakan politik di Kerajaan Linge dan terkait dengan kesultanan Aceh di Pesisir. Sengeda, anak Raja Linge 13 bermimpi bertemu dengan abang kandungnya Bener Merie yang dibunuh Raja Linge ke 14, yang takut kekuasaannya beralih ke Bener Merie dan Sengeda. Cik Selure, perdana menteri Kerajaan Linge, diminta Raja Linge 14 untuk membunuh kakak-beradik Bener Merie dan Sengeda. Ia hanya membunuh Bener Merie, tapi tidak Sengeda. Sebagai gantinya, Cik Selure membunuh kucing yang kuburannya ia buat menyerupai kuburan manusia.. Raja Linge ke-14 pun menganggap Sengeda juga sudah meninggal seperti abangnya, Bener Merie.

Dalam mimpi itu, Bener Merie memberi petunjuk kepada Sengeda untuk menemukan gajah, yang kemudian dipersembahkannya kepada Sultan Aceh Darussalam. Suatu hari Sengeda menggambar gajah di pelepah rebung bambu, di hadapan putri sultan. Sang putri tertarik dan meminta penjelasan lebih lanjut tentang gajah tersebut.

Seekor gajah putih pun dibawa ke Kutaradja, ibukota kerajaan Aceh. Rombongan Cik Selure dan Sengeda berdendang, “Enti Dong…. enti dong….” Mereka terus berdendang sepanjang perjalanan. Lama-kelamaan “enti dong” jadi “didong”.

Tapi seorang antropolog dari Universitas Indonesia punya pendapat beda. Dalam bukunya, Didong Pentas Kreativitas Gayo, Junus Melalatoa, merujuk pada asal usul kata “didong”. Dalam bahasa Gayo, ada kata “denang” atau “donang”, yang sama artinya dengan kata “dendang” dalam bahasa Indonesia.

Kini gajah putih dalam kisah Sengeda jadi simbol Komando Daerah Militer Iskandar Muda dan nama universitas di Takengon: Universitas Gajah Putih. Nama Bener Merie diabadikan sebagai nama kabupaten Bener Meriah.

”Saat menjadi ceh pertama kali, saat ada kampanye Golongan Karya (Golkar). Saat itu saya masih SD (sekolah dasar),” kata Salimi yang juga sering dipanggil Onot.

Setiap ada hajatan besar yang melibatkan pejabat penting, Didong selalu digelar. Begitu juga saat hajatan besar semacam kampanye saat pemilihan umum atau Pemilu), Didong selalu hadir.

“Tapi Didong sekarang sudah bukan Didong lagi,” kata Salimi. Kesal.

Kepada saya ia bercerita, kalau Didong saat ini tidak lebih sarana untuk saling menjelek-jelekkan atau membuka aib orang lain. Didong semata-mata jadi corong politik para pejabat. Nilai seninya telah hilang. Dulu Didong jadi media yang memaparkan realitas di Gayo dan menawarkan solusi menghadapi masalah.

PRIA berambut gondrong dan bertubuh jangkung itu menyambut saya hangat. Ia adalah Jurnalisa, Ketua Dewan Kesenian Bener Meriah. Kantor Dewan Kesenian Bener Meriah berada di Panteraya, satu jam dari ibukota Bener Meriah.

“Banyak ceh terkenal di Gayo,” ujarnya. Ia menyebut sejumlah nama: Tjuh Ucak, Basir Lakkiki Abd. Rauf, Ecek Bahim, Sali Gobal, Daman, Idris Sidang Temas, Sebi, Utih Srasah, Beik, Tabrani, Genincis, S. Kilang, Ibrahim Kadir, Mahlil, Bantacut, Dasa, Ucak, Kuwet, Talep, Aman Cut, Abu Kasim, Syeh Midin, M. Din, Abu Bakar, Ishak Ali, dan Kabri Wali.

Dalam perkembangannya, Didong berubah bentuk. “Didong Jalu adalah bentuk perubahan tersebut,” kata Jurnalisa.

Didong Jalu adalah pertunjukan dua kelompok dalam sebuah arena yang diadakan semalam suntuk. Dua kelompok ini saling berbalas pantun dan melontarkan teka-teki tentang realitas sosial yang terjadi di masyarakat Gayo. Benar atau tidaknya jawaban akan dinilai oleh tim juri yang ada, yang biasanya terdiri dari warga yang memahami Didong secara mendalam. Lakiki, Sidang Temas, Arita, dan Sinar Pagi adalah sekian dari banyak grup Didong yang terkenal di sini.

“Tapi Didong Jalu sekarang ini sudah berubah tujuan. Kalau dulu Didong Dalu, indah dengan bahasa sastra yang tinggi, tapi kini tidak lebih arena saling berolok-olok,” kata Jurnalisa, sambil menarik napas panjang.

“Didong jalu dapat memecah-belah masyarakat Gayo,” katanya. Ia khawatir arena Didong disusupi pihak-pihak yang tidak ingin Aceh damai lewat syair-syairnya.

BINTANG adalah kemukiman yang kini jadi kecamatan di Aceh Tengah. Letaknya di ujung danau Laut Tawar. Pejabat di Gayo banyak berasal dari sini, tapi tak otomatis membuat daerah ini pesat dibangun.

Butuh waktu dua jam untuk mencapai Bintang. Meski melelahkan karena jalan yang berkelok-kelok dan berlubang, tapi pemandangan indah danau Laut Tawar mengasyikkan mata. Ketika saya tiba di Bintang, di desa Geganyang Pulo Atas, lelaki tua berperawakan kurus menyambut saya. Dia adalah Muhammad Jihad, ketua Komunitas Resam, lembaga swadaya masyarakat yang meneliti sejarah, sastra dan budaya Gayo.

Jihad lulusan Universitas Bandung Raya. Ia seorang arsitek. Berbicara dengannya, membuat kita ingin mempercayainya. Nada bicaranya optimistis dan penuh semangat.

“Didong adalah media di Gayo, tak ubahnya seperti koran, siaran radio atau siaran saluran televisi , dan para cehnya tak ubahnya wartawan,“ katanya, sambil mengajak saya masuk ke ruang kerjanya, yang sederhana dan menyatu dengan alam. Berbagai buku, modul, brosur, surat-surat dan kertas-kertas berserakan di situ.

Kata Jihad kepada saya, Didong sudah ada sejak 15 abad di Gayo hingga kemudian berkembang pesat hingga tiap kampung di Gayo ada grup Didong.

“Banyaknya grup Didong, sebanyak kampung yang ada di Gayo, terutama di mana warganya mayoritas suku gayo,” katanya.

Saat Islam masuk ke Gayo, yang dibawa Syech Abdul Khadir Jailani, Didong digunakan sebagai sarana penyebaran agama Islam dan dipertunjukkan saat hari besar agama. Ceh berasal dari kata “syech”. Saat itu para ceh tidak hanya dituntut untuk mengetahui cerita-cerita religius tetapi juga pandai bersyair, memiliki suara yang merdu serta berperilaku baik.

Pada 1960-an Didong merupakan sarana kesenian, di akhir 1970 jadi sarana ekonomi dan era di 1980-an menjadi sarana ekonomi, budaya dan politik.

“Hingga seperti sekarang, yang tidak jelas lagi,” kata Jihad.

Didong dipentaskan dalam berbagai upacara adat, seperti perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, panen raya, dan penyambutan tamu. Syairnya juga disesuaikan dengan hajatan yang sedang berlangsung. Di acara perkawinan misalnya, syairnya berisi seluk-beluk adat perkawinan Gayo.

Saat terjadi pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DII/TII), Didong dilarang pihak pemberontak. DI/TII menganggap Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menyusup dalam Didong dan memperalat seni ini untuk kepentingan negara Indonesia.

Ketika konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia berkecamuk, syair Didong berisi protes dan sikap anti terhadap kekerasan militer. Tapi bentuk protes-protes tersebut dibalut dalam bahasa yang penuh kiasan.

“Ada beberapa grup Didong yang kemudian dilarang pemerintah setempat untuk tampil, karena syair-syair yang mengkritik,” kata Jihad.

UDARA sejuk pegunungan tidak membuat Hamdani kedinginan. Ia adalah seorang mantan ceh. Ia melepas jaket tebal di badannya.

Hamdani prihatin terhadap nasib kesenian Didong. Menurutnya, pemerintah setempat kurang memberikan perhatian kepada seniman Didong. Padahal Didong punya peran penting di masyarakat Gayo.

“Salah satu sebab yang membuat orang Gayo pinter-pinter adalah Didong,” katanya.

Tapi dia melihat ada kebiasaan baru yang bakal jadi tradisi yang menodai Didong.

“Saya paling tidak suka melihat ada budaya sawer yang dilakukan oleh pejabat pada saat pertunjukan Didong akhir-akhir ini. Masak karya seni Didong cuma dihargai dengan uang Rp 50.000. Ini kan melecehkan,” lanjutnya.

Ia menceritakan satu pengalamannya ketika menonton Didong Jalu yang dihadiri para pejabat. Para ceh dengan grupnya melantunkan sanjungan terhadap para pejabat tersebut. Lalu seorang pejabat maju ke arena dan melemparkan uang Rp 50.000 ke tengah lingkaran pemain Didong persis di depan ceh. Tindakannya itu diikuti pejabat lain. Akhirnya uang pun bertumpuk di depan ceh. Inilah yang Hamdani sebut dengan kata “sawer”. Dulu aksi seperti ini tak ada dan bukan bagian dari seni Didong.

“Memang sih, Didong-nya makin seru dan grup Didong makin bersemangat, tapi apakah pantas seperti itu, apakah hal tersebut tidak akan mengubah makna kesenian Didong,” kata Hamdani.

Tapi kalangan ceh terpecah dua. Ada yang tak setuju pada tindakan itu, tapi banyak juga yang mengharap uang sawer.

HINGAR-BINGAR musik cadas terdengar dari studio milik Komunitas Seniman Muda Aceh atau biasa disingkat Kosma. Markas mereka berada di Jalan Mersa, tepat di samping pendopo bupati Aceh Tengah. Beberapa anak band sedang latihan. Kosma adalah sebuah perkumpulan seniman musik dan juga tempat kursus musik di Aceh Tengah.

Khudri Yakob, ketua Kosma, menyatakan kekagumannya pada para ceh yang membuat syair Didong.

“Yang paling saya kagumi adalah kecepatan sang ceh, membuat syair dalam sekejap, langsung dibuat saat pertandingan, mulai dari nada tepukan dan gerak Didong,” kata lelaki bertubuh ceking ini.

Marzuki sahabat Khudri Yakob berpendapat sama. “Untuk membuat syair Didong diperlukan bakat khusus.” Marzuki juga sering dipanggil Jeger, merujuk pada kemiripannya dengan vokalis Rolling Stones, Mick Jagger.

Penuturan Marzuki mengingatkan saya kepada Ibrahim Kadir. Ia seniman besar Gayo dan juga seorang ceh. Ia mahir menggubah syair. Kata-kata syairnya begitu kuat dan menyentuh. Ibrahim sempat main dalam film Puisi Tak Terkuburkan, yang berkisah tentang korban politik 1965.

“Apalagi dalam menciptakan syair Didong Jalu,” sambung Khudri Yakob.

“Kemampuan ceh inilah yang sebenarnya alasan kenapa Didong tetap bertahan. Alasannya paling cocok untuk menyampaikan maksud dari sebuah hajatan seperti kampanye politik misalnya, langsung mengena dan begitu kuat mempengaruhi pendengarnya,” kata Marzuki, lagi.

Lalu apa kata ceh tentang syair Didong? Saya pun teringat penuturan Salimi dan Hamdani.

“Kalau saya membuat syair Didong, merupakan hasil dari perenungan dan hasil pengamatan di sekitar lingkungan kehidupan saya. Tapi kalau untuk Didong Jalu, saya hanya menyimak apa yang dilontarkan oleh lawan, mengalir saja,” kata Salimi.

Kalau ada acara besar, misalnya kampanye politik, biasanya terjadi kesepakatan antara si pembuat acara dan grup Didong yang diundang. Para ceh akan berusaha keras untuk merenung, mencari insiprasi dan menebak-nebak siapa tokoh yang hadir dan kemudian merangkai syair untuk pementasan tersebut.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, selain dari hasil bayaran saat mentas, anggota grup Didong dan para ceh bekerja sampingan. Kebanyakan dari mereka adalah petani.

Bagaimana dengan honor sekali pentas?

“Tergantung acaranya. kalau acara-acara besar misalnya acara penting pemerintahan bayarannya bisa jutaan. Tapi untuk kawinan paling-paling di bawah Rp 1 juta. Itupun kemudian dibagi kepada anggota grup. Satu grup paling sedikit 14 orang dan bisa sampai 30-an orang,” kata Hamdani pada saya.

Dalam satu grup Didong, seorang ceh dibantu oleh apit, sebutan bagi pendamping ceh yang juga seorang ceh. Ia bertugas membantu ceh utama membuat syair dan menyanyikannya kalau ceh utama kelelahan. Biasanya apit juga ada seorang ceh kucak, sebutan bagi ceh yang masih berusia belia.

Selain itu ada juga penunung sebutan bagi para pengiring atau penepuk. Ada dua macam penunung, yaitu penunung yang menggunakan bantal kecil yang diselipkan ke tangan kiri dan penunung yang hanya menggunakan kedua tangannya untuk bertepuk dan memberi irama mengiringi ceh menyanyi.

Saat mentas, grup Didong membentuk lingkaran. Para pemain duduk berdekatan hingga bahu mereka saling bersentuhan. Setelah itu mereka menggerakkan badan ke samping, ke depan dan ke belakang. Mereka juga sesekali membuat gerakan tangan seakan-akan melambai-lambai menyapa penonton. Setiap kali ceh memberikan isyarat, penunung mengikuti syair ceh dengan menyanyikannya bersama-bersama.

KEPADA Hamdani, saya meminta dinyanyikan sebuah syair Didong.

“Ah itu gampang. Syair tentang apa?” katanya.

Saya menjawab, “Terserah.” Tak berapa lama lantunan syair terdengar diiringi tepukan tangan. Merdu Saya terkesima mendengarnya.

Brak… brak… bruk, brak…brak… bruk, ketaak… ketaak… bruk. Hamdani menepuk tangannya penuh penghayatan. Lalu melantunlah syair dari mulutnya.

Ama Inë Ini pongotni Gayo iné
Kute Takengen besilo nge musarik
Ulahni politik jema si jago – jago
Bier pe i dusun bier pe isi lëngkik
Laingni kékék numé makin gurë inë…

(ibu bapak, ini ratapan gayo, Kota Takengon kini berteriak. Ulah dari jago jago politik, biar di dusun dan di mana saja, suara burung Kekek—burung bertanda akan ada kejadian buruk—makin sering terdengar)

Munyenoh ken ulu ulahni si cerdik Parok i pantik nyenohi ken Rejë ama …ooo
Rakyat si ogoh sabe kona pecek
Gere meteh ujung ralik si munangung resiko ine…

(mencari jabatan ulah si cerdik, taktik dibuat supaya jadi raja… bapak…ooo, rakyat yang bodoh selalu ditekan, tidak tahu persoalan tapi yang menanggung risiko)

Syair tadi bercerita tentang nasib orang Gayo saat konflik berkecamuk di Aceh, syair gubahan seorang ceh kucak. Di Gayo berbeda dengan daerah lain di Aceh. Di daerah ini saat konflik berkecamuk sempat terjadi perlawanan terhadap GAM dari masyarakat sipil keturunan etnis Jawa dan sedikit suku Gayo. Mereka merakit senjata api sendiri. Mereka juga didukung tentara Indonesia. Dari sini nanti lahir milisi-milisi bersenjata terorganisasi. Saat perdamaian Aceh terjadi, senjata mereka pun dilucuti.

Dari Gayo pula muncul tuntutan pembentukan provinsi Aceh Lueser Antara (ALA) yang ditentang habis-habisan oleh mantan-mantan GAM, yang setelah damai bergabung di bawah Komite Peralihan Aceh atau KPA. Akibat tuntutan ini, Gayo sewaktu-waktu memanas.

ALA didukung partai-partai besar nasional. Para pendukungnya ingin membentuk provinsi sendiri dengan alasan pembangunan yang tak merata sampai ke pedalaman, jauhnya wilayah ini dari pusat pemerintahan Aceh, dan kesetiaan mereka kepada negara Indonesia.

Di tiap aksi ALA, Didong sering ditampilkan. Belakangan ini banyak syair Didong yang berisi kampanye pembentukan ALA. Lewat Didong, kampanye ALA masuk ke pelosok-pelosok kampung.

Senja telah turun dan memeluk tanah Gayo. Saya pun beranjak pulang. Di sepanjang perjalanan, benak saya masih dipenuhi syair-syairnya.***

*) Arsadi Laksamana adalah kontributor Aceh Feature. Ia bekerja sebagai wartawan dan tinggal di Aceh Tengah.

Comments

comments