by

Shalat Tarawih

Oleh. Drs. Jamhuri, MA*

Istilah untuk shalat tarawih termasuk juga shalat witir dan qiyamul lail, nama yang populer dalam masyarakat kita adalah istilah tarawih, untuk itu tema yang digunakan dalam tulisan ini adalah shalat tarawih. Hukum melakukannya sunat, sedang bagi nabi sendiri mengerjakannya adalah wajib.

Banyak diskusi yang muncul di dalam masyarakat sehubungan dengan shalat tarawih baik dari segi jumlah rakaat secara keseluruhan sampai salam ataupun jumlah rakaat untuk melakukan salam.

Jumlah rakaat shalat tarawih yang sering kita dengar dan kita kerjakan selama ini adalah sebelas rakaat termasuk dengan witir atau juga dua puluh tiga rakaat termasuk witir. Sebagian berpendapat bahwa setiap dua rakaat sekali salam, tetapi ada juga empat rakaat sekali salam. Demikian juga dengan witir, ada yang tiga rakaat sekali salam juga ada yang dua-satu sekali salam.

Semua perbuatan yang kita lakukan dalam hubungannya dengan shalat tarawih beralasan atau bersumber, karena itu mana saja yang kita lakukan berarti kita telah mengikut shalat Rasulullah yang hukumnya sunat.

Ulama sepakat bahwa melakukan shalat tarawih setelah shalat fardhu “Fa shara qiyamul laili tathawwu’an ba’da faridhah : Hr. Muslim”, jadi karena shalat tarawih adalah qiyamul lail maka kita harus melakukannya setelah shalat isya dan tidak shah bila kita lakukan sebelum isya. Ini sudah kita lakukan, kita tidak pernah melihat ada sekelompok orang yang melakukan shalat sunat tarawih setelah shalat maghrib atau sebelum shalat Isya.

Kita melihat fenomena lain dalam masyarakat kita, ada sekelompok masyarakat yang melaksanakan shalatnya dengan sebelas rakaat, ada juga yang dua puluh tiga rakaat. Diantara mereka ini pada awalnya tidak ada komunikasi yang terbangun, sehingga berakhir dengan perpecahan dalam masyarakat. Apabila mereka yang shalat di menasah mengerjakan dengan rakaat yang berbeda maka kelompok yang lain tidak mau datang ke menasah atau juga sebaliknya, bahkan juga berakhir dengan mendirikan menasah lain. Namun pada akhir-akhir ini kita lihat fenomena ini berubah, dimana toleransi muncul dan semua orang berpikiran bahwa perpecahan tidak ada manfaatnya.

Wujud dari toleransi demi persatuan ini terlihat bahwa banyak sekali masjid atau menasah mengakomodir kedua pendapat yang berbeda tersebut, dengan melaksanakan shalat 23 tapi memberi kesempatan kepada yang 11 untuk melakukan shalat witir ketika sudah sampai pada salam keempat, atau juga mereka yang shalat 11 istirahat menunggu yang 23 witir.

Dalam kaitan dengan jumlah rakaat ini Imam Syafi’i r.a  berpendapat : “saya lebih sukan shalat tarawih dilakukan secara munfarid (sendiri), saya melihat orang-orang di Madinah melaksanakannya sebanyak 39 rakaat,mereka beramal dengan amal ahlul madinah dan saya lebih suka 20, karena riwayat Umar bin Khatab r.a demikian juga di Mekkah, mereka witir tiga rakaat sekali salam” (Al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir : 2/226).

Ungkapan Syafi’i ini memberi informasi kepada kita, bahwa pelaksanaan shalat tarawih tidak hanya 23 rakaat termasuk witir, tetapi ada juga yang 39 rakaat. Hanya saja beliau lebih suka dengan 23 rakaat termasuk witir, beliau juga katakan bahwa witir tiga rakaat sekali salam juga dilakukan di Mekkah.

Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ menyebutkan waktu shalat tarawih dilakukan setelah shalat Isya sampai dengan terbitnya fajar, shalatnya dua-dua rakaat, tidak shah berniat secara muthlaq (sekali niat untuk 8 rakaat), tetapi haruslah diniatkan untuk setiap dua rakaat.  Ulama berbeda pendapat tentang banyaknya rakaat shalat tarawih, mazhab Syafi’i mengamalkan 20 rakaat dengan 10 kali salam selain dari witir, menurut Abu Hanifa dan mazhab Hanafi, Ahmad dan Daud dan dinuqilkan dari Qadhi ‘Iyadh dan jumhur ulama empat rakaat sekali salam. Aswad bin Mazid melaksanakan shalat tarawih 40 rakaat dengan witir 7 rakaat, Menurut Imam Malik tarawih itu 9 kali salam untuk 36 rakaat selain dari witir. Pendapat Malik sama dengan Nafi’ yang mengatakan tarawih itu 39 rakaat termasuh di dalamnya witir. (An-Nawawi, Al-Majmu’ : 4/32). Hadis dari Aisyah menyebutkan shalat witir Rasulullah adalah 11 rakaat (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 2/34)

Dalam kutipan tersebut disebutkan bahwa niat shah apabilak dilakukan pada setiap dua rakaat, perndapat ini berbeda dengan pendapat mazhab Hanafi yang mengatakan niat shalat tarawih memadai sekali niat di awal shalat. Mereka menganggap shalat tarawih itu sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah, sedang mazhab syafi’i sebagaimana disebutkan menganggap shalat tarawih itu terdiri dari dua-dua rakaat.

Itulah keberagaman rakaat shalat tarawih menurut ulama, tidak ada ungkapan dari mereka yang mengatakan bahwa pendapat selain pendapat mereka adalah salah. Mereka hanya mengatakan lebih senang, seperti halnya disebutkan oleh Al- Syafi’i dalam hal memilih 23 tiga termasuk witir.

Satu metode penyelesaian masalah yang ditawarkan dan dikembangkan oleh Ibn Taymiyah adalah Tanawwu’ al-Ibadah, artinya semua ibadah yang diamalkan dan mempunyai dasar hukum yang kuat dapat diamalkan secara beragam bahkan bergantian. Karena bila kita mengamalkan seluruhnya berarti kita telah mengikut Rasulullah, juga bila kita mengamalkan salah satunya berarti kita telah mengamalkan sebagian sunnah Rasul. Tetapi kalau kita hanya mempunyai ilmu untuk sebagian sunnah sebaiknya kita mengamalkan yang kita ketahui.



* Mantan Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fak. Syari’ah IAIN Ar-Raniry BNA.

Comments

comments