by

MEA; Peluang Dan Acaman

Oleh: Hanif Sofyan*

hanif sofyan
hanif sofyan

Mindset ‘impor minded’ masih mendominasi perekonomian kita. Itu sebabnya kita menjadi konsumen aktif yang memburu barang, bukan sebaliknya menjadi penjual. Apa jadinya jika kita tak segera berbenah, ditengah desakan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan dimulai pada 2015 mendatang?.Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Karena kita tentu tak mau menyediakan ‘kuburan massal’ bagi produk kita sendiri.

Optimisme Era baru Masyarakat Ekonomi ASEAN mestinya menjadi berita gembira bagi dunia bisnis kita, karena uang akan melimpah dengan meluasnya pasar. Disisi lain, begitu banyak sumber daya kita yang sejak lama telah diwacanakan, namun belum membuahkan hasil menggembirakan. Sebut saja tentang luasnya ‘lahan tidur’ kita di seantero nanggroe yang dicanangkan oleh menteri pertanian ketika berkunjung ke Aceh pada medio Februari kemarin sebagai lahan prospektif swasembada pangan. Kemudian hadirnya pelabuhan samudera di Lampulo yang bahkan telah dijanjikan tambahan dana  200 miliar untuk mendorong pelabuhan Aceh sebagai basis ekspor impor.

Namun sesungguhnya kita telah maju selangkah mengantisipasi berbagai kemungkinan persaingan MEA 2015 mendatang. Karena Aceh berada di mulut ASEAN, bahkan jangkauan Aceh ke Singapura, Malaysia dan Thailand jauh lebih dekat di banding ibukota negara, Jakarta. Itu alasan mengapa kita begitu bersemangat dengan gagasan IMT-GT;(Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle);Segitiga Pertumbuhan; Indonesia,Malaysia, Thailand, paska kekecewaan kita dengan lepasnya peran Sabang sebagai Pelabuhan Bebas. Sayangnya,  wacana itupun kemudian mati suri.

Geliat MEA seharusnya menjadi stimulan para pengelola pemerintahan untuk lebih bergairah lagi membangun perekonomian kita. Namun realitasnya, persoalan mindset dan blueprint pembangunan kita yang belum mampu ‘menjangkau’ peluang emas itu.

Memang ada prioritas pembangunan yang harus didorong, terutama penguatan basis ekonomi kecil yang menyokong perekonomian secara keseluruhan. Karena sejauh ini kekuatan ekonomi kita masih bertumpu pada proyek APBA dengan pusatnya pada sektor konstruksi. Aceh menjadi lesu darah ketika akhir masa pelaporan anggaran, lalu bergairah kembali begitu amprah anggaran turun lagi. Di luar itu kita minim inisiatif kecuali wacana pembangunan tanpa skala prioritas dan qanun yang berlimpah tanpa signifikasi realisasi.

Project oriented base ini, sangat berbahaya bagi keberlangsungan Aceh ke depan. Terutama pada mubazirnya penggunaan dana otsus tanpa arah prioritas yang jelas. Mestinya setiap rupiah dana otsus adalah pertaruhan pada persiapan pondasi Aceh yang lebih kokoh di semua lini, minimal secara ekonomi.

Apakah sekarang kita dapat memprediksi ‘positif’ akan seperti apa Aceh paska berakhirnya bantuan dana otsus dan bagi hasil migas pada 2027 mendatang, seperti yang dirilis Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program (PECAPP) Aceh yang  totalnya berjumlah 650 triliun dan telah mulai dicanangkan sejak 2008 lalu?. Apakah dana itu hanya menjadi bagian ritual pembangunan, menghabiskan anggaran?.

Kita kuatir, euforia ‘kemajuan’ ekonomi hanya ada dipermukaan, sementara akar kita keropos. Bukti akan menguat manakala produk ASEAN menyerbu Aceh, dan membuat kita kalang kabut. Tidak saja karena kita kalah bersaing dipasaran karena produsen asing akan menggelontorkan ribuan produk dengan harga bersaing. Bahkan mungkin, produk kita akan diadopsi dengan konsep branding, packaging dan marketing secara professional, lalu dijual kembali ke pasar kita.

Aturan Main Baru

Dengan melimpahnya sumber daya, sesungguhnya kita adalah ‘lampu terang’ tempat berpusatnya para ‘laron’, peminat bahan baku pabrikasi untuk ASEAN. Dan dengan keterlambatan kita menangkap peluang, bahan mentah akan menjadi komoditas impor mereka, diolah secara pabrikasi, dengan tenaga murah kita pula. Dan lebih ironisnya lagi, produk dengan kemasan baru akhirnya menjadi konsumsi pasar strategis MEA yaitu kita sendiri, tapi dengan label negara lain.

Lalu, jika kita memang siap, apakah serta merta kita bisa menjadi bagian dari persaingan global di tingkat ASEAN itu?. Tunggu dulu, dimensi-dimensi kualitas produk, kesesuaian harga dengan daya beli pasar, hingga penerapan prinsip keseimbangan lingkungan merupakan hal-hal yang menjadi acuan standarisasi. Dan hal itu telah jauh hari di penuhi para pegiat bisnis di ASEAN, sejak forum kerjasama regional ini diinisiasi beberapa tahun yang lalu.

Kealpaan para pebisnis lokal berorietasi ke MEA, bisa menjadi bumerang, karena perlahan namun pasti akan membuka peluang pemain asing masuk mendominasi pasar kita. Seperti hancurnya pasar batik di sentra kerajinan batik Solo karena desakan produk pabrikan dari Malaysia yang memborbardir dengan produk yang bersaing.

Kita harus membuka wawasan karasteristik pasar global, sebagai persiapan produk masuk ke siklus perdagangan baru yang lebih menjanjikan, sertifikasi produk. Setiap pemain lokal hendaknya menyadari adanya tuntutan mendapatkan sertifikat, sebelum produknya didistribusikan di negara lain. Karena diluar itupun kita harus memahami, dengan sertifikat yang ada kita masih harus bersaing, melalui seleksi alam yang berbasis mutu. Jadi tidak serta merta langsung dapat diterima pasar.

Lalu ada localization, yang akan sangat menentukan penerimaan produk dipasaran. Karena bisa jadi produk dari Malaysia akan masuk ke Aceh atau Indonesia, dengan Bahasa Indonesia. Gagasan localization menjadi kamuflase yang dapat merangsang konsumen membeli, karena faktor bahasa. Artinya tidak melulu bahasa Inggris di jadikan patokan utama di pasar ASEAN mendatang.

Hal lain yang patut diperhatian adalah upaya menciptakan ikatan emosional dengan pasar, melalui trend penggunaan ‘semangat kebangsaan’. Dimana mobilitas yang tinggi para profesional yang mewakili negara masing-masing menjadi sarana edukasi pengenalan produk lokal kita, sehingga dengan menguatnya pemahaman dasar tentang produk kita dapat mendorong mereka menjadi bagian dari konsumen penikmat produk kita, layaknya kupie Aceh yang dapat dinikmati antar bangsa. Dan trade mark-nya yang menguat adalah Kopi dan Aceh. Ketika langkah ini dilakukan secara konsisten maka inkulturisasi-pun terjadi.

MEA seharusnya menjadi peluang kita, menghidupkan kembali gagasan sejuta enterpreneur yang mati suri di era awal kepemimpinan Zikir. Tidak membiarkan para enterpreneur bergerak sendiri-sendiri untuk survival, tanpa stimulan pemerintah. Sehingga perekonomian Aceh terlihat tumbuh, berkembang namun sesungguhnya tidak memiliki fondasi kokoh dan arah yang jelas dalam persaingan global, pun di tingkat ASEAN.

Buktinya, apakah kita akan siap siaga menyambut MEA setahun lagi? Apakah ada pola bisnis, masterplan yang dapat menjembati kemungkinan peluang MEA dan bakal melajunya ekonomi kita dengan terbukanya pasar yang lama kita nantikan?. Ataukah justru sebaliknya, kita panik, mengikut arus pasar dan lagi-lagi kita cuma menjadi pembelanja sejati. Padahal titik-titik lemah itu, sesungguhnya peluang yang ‘tertidur’ yang harus dibangunkan!. Ataukah kita akan menjadi konsumen baru yang ‘terjajah’, tepat dimulut ASEAN, tempat melimpahnya ‘buangan’ produk luar dan meriahnya pesta belanja?.

Pemerhati sosial ekonomi, pegiat lingkungan*

Comments

comments