by

Puisi-Puisi Kopi Ayi Jufridar

Pekat

dalam kepekatan malam seulawah
kesunyian menikam di antara keriuhan raga
terlambat sudah untuk menyesali sinar mentari
atau mengutuki angin berembus dari jiwa yang mati
mengabarkan hutan yang telah berganti raja

badai ini
takkan reda oleh butiran salju yang berjatuhan
dari pohon-pohon kerinduan
desah menuju peraduan sebelum waktunya
aroma sengam buah-buah kopi
dari ketinggian ini, terasa menyakitkan
sebab kita sudah lupa mengapa pekat itu ada

Jakarta, Oktober 2012

Mimpi Kopi

Di kursi ini
aku memaku diri
menggunungi keluh kesah
tentang rute yang makin payah
dan peta yang tak terbaca
dalam perjalanan sesat di belantara kota

di kursi ini waktu berlalu dalam kelam
menari dari wacana ke wacana
dalam sesapan kopi, kebun-kebun panen seketika
bulir-bulir padi gemuk berisi
kambing dan sapi membiakkan betina
hanya sekedip mata

cukup secangkir kopi
untuk menyulap negeri menjadi merdeka
kekayaan datang tujuh generasi
mengantar kami dari satu mimpi menuju mimpi berikutnya

samudera kopi yang tak kunjung terarungi
dalam seratus kali purnama

Jakarta, Oktober 2012

Akar Ingkar

akar-akar kopi tumbuh di ujung dedaunan
tanpa serpihan tanah yang menyimpan makan
lalu akar mengantar
sampai ujung dedaunan seperti takdirnya

ujung-ujung kecil meruncing
berkilauan ditimpa cahaya
memperlihatkan sejuta wajah lelah
atau mungkin lebih, wajah sebanyak dedaunan

biji-biji kopi dijerang tanpa tanpa warna
tanpa aroma
tanpa rasa
tanpa jiwa
biji-biji kopi pun menjadi serpihan mati
sebab ia tak lagi punya kisah
sejak bayi sudah lelah menyetubuhi tanah
lalu dengan berani melawan takdir
memohon izin Tuhan
agar bisa melihat matahari meski sehari

saat izin diberi
mereka mengingkari
akar pun ingin abadi di ujung daun

sejak itulah mereka buta warna
buta aroma
buta rasa
buta jiwa
berharap kekal dalam sinar
bahkan mencongkel matahari dari peraduan

tersebab oleh akar yang ingkar
pohon pun sujud ke bumi

Lhokseumawe, Oktober 2012

Rahasia Kopi

Jejak nanggroe tersembunyi
dalam secangkir kopi
menu pelengkap bagi pementasan drama sepi tak berseni
menjual mimpi tentang lahirnya sebuah negeri
mimpi-mimpi seharga nyawa

Campuran religi menjadi pelengkap rasa
menempel di dada dan pinggul perempuan kota
menjadi terminal dalam perjuangan aqidah
menolak berarti lawan dan pendangkalan

Di balik secangkir kopi
mereka membangun istana bagi kroni-kroninya
di atas cangkir porselen berkilauan
mereka mengaku menegakkan aliq
yang akan mereka pertahankan dengan darah

Gula-gula yang menipu bahkan diri sendiri
saat diaduk mereka berlagu senada
memanisi sampai ke dasar dan katanya penuh cinta. Kita percaya itu
bahkan ketika anak-anak menertawainya
lalu mereka kembali ke permukaan saat didiamkan
mengakar di lapisan pertama

Pada lapisan pertama pula,
kopi hitam membagi kehangatan
menebar senyum dari asap mengepul
dan begitulah gambaran dari secangkir kopi
yang mereka ceritakan pada dunia

Di balik lapisan pertama busuk tersimpan
air dirajang dari biji buangan
bukan dari pantat musang yang berharga mahal
tapi biji yang keluar dari perzinahan

Siapa bisa membaca kata
di balik kepekatan secangkir kopi
banyak rasa tersembunyi
tapi lidah kita sudah lama mati

Lhokseumawe, Oktober 2012

Biodata:

Ayi Jufridar-1Ayi Jufridar, lahir di Bireuen, Aceh, 18 Agustus 1972. Puisi-puisinya masuk dalam antologi  bersama Aceh Dalam Puisi (2003), Maha Duka Aceh (2005), Lagu Kelu (2005).  Sudah menerbitkan tiga novel Novel Alon Buluek, Gelombang Laut yang Dahsyat (Grasindo, 2005) yang meraih juara tiga lomba novel nasional. Novel tentang tsunami di Aceh tersebut sudah diterjemahkan dalam Bahasa Belanda dengan judul Alon Buluk (de Verschrikkelijke Zeegolf). Buku kedua, Kabut Perang (Universal Nikko, 2010) bercerita tentang konflik bersenjata di Aceh, dan yang ketiga Putroe Neng (Grasindo, 2011) mengenai kisah mitos putri keturunan China di Aceh. Buku itu yang mengantarkan Ayi terpilih menjadi salah satu dari 15 penulis di Indonesia menjadi pembicara di Ubud Writers and Readers Festival di Bali, tahun 2012.  Kini Ayi sedang menggali kekayaan kisah mitos di Aceh untuk dituangkan dalam bentuk novel.

Sekitar 250 cerpen, puisi, resensi,  dan artikelnya dimuat di sejumlah media terbitan Jakarta seperti Anita Cemerlang, Aneka Yess!, tabloid NOVA, Jurnal Nasional, KOMPAS, Jawa Pos, KARTINI, tabloid Aura, tabloid Fantasy, Wanita Indonesia, majalah STORY, majalah SAY, Gadis, Kawanku, Romansa, Ceria, majalah Dewan Bahasa dan Sastra Malaysia, juga di media lokal antara lain Serambi Indonesia, Harian Aceh, Aceh Independen (Aceh), Waspada,  Analisa (Medan), Singgalang (Padang) dll.            Di luar kesibukan sebagai penulis, Ayi bekerja sebagai koresponden Jurnal Nasional di Aceh dan mengajar jurnalistik di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.(***)

Puisi-puisi karya Ayi Jufridar diatas dinyatakan lulus seleksi tahap dan berhak menjadi nominator karya yang akan dimuat dalam Buku Antologi Puisi “Secangkir Kopi” terbitan The Gayo Institute (TGI) dengan editor Fikar W Eda dan Salman Yoga S.

Comments

comments